PT Sri Rejeki Isman Tbk, yang lebih dikenal sebagai Sritex, telah menjadi ikon industri tekstil Indonesia selama 58 tahun. Namun, pada 1 Maret 2025, perusahaan ini resmi menghentikan operasionalnya, meninggalkan jejak duka bagi ribuan karyawan yang terkena dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Gelombang PHK yang Mengguncang
Keputusan untuk melakukan PHK massal diumumkan pada 26 Februari 2025, mempengaruhi 10.669 karyawan di berbagai unit usaha Sritex. Proses PHK ini berlangsung dalam dua gelombang:
Januari 2025: Sebanyak 1.065 karyawan di PT Bitratex Semarang terkena PHK.
Februari 2025: PHK juga dilakukan di empat perusahaan grup Sritex lainnya.
Total, lebih dari 10.000 pekerja terdampak akibat keputusan ini.
Penyebab Kepailitan
Masalah keuangan serius mulai menghantui Sritex sejak tahun 2021. Pada Mei 2021, saham Sritex disuspensi akibat keterlambatan pembayaran bunga dan pokok Medium Term Notes (MTN). Total liabilitas perusahaan terus meningkat, mencapai sekitar Rp24,3 triliun pada September 2023. Krisis keuangan ini memuncak pada 21 Oktober 2024, ketika Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Penutupan Sritex tidak hanya berdampak pada karyawan, tetapi juga pada perekonomian lokal. Di Solo, misalnya, sekitar 600 warga kehilangan pekerjaan akibat PHK massal ini. Pemerintah setempat berupaya menyalurkan mereka ke perusahaan garmen lain di wilayah tersebut.
Harapan di Tengah Ketidakpastian
Meskipun menghadapi tantangan besar, ada upaya untuk memastikan hak-hak pekerja terpenuhi. Dalam rapat yang berlangsung, disebutkan bahwa pesangon dan tunjangan hari raya (THR) akan dibayarkan jika aset perusahaan berhasil dijual atau ada investor baru yang masuk.
Kisah Sritex menjadi pengingat akan pentingnya manajemen keuangan yang bijak dan adaptasi terhadap perubahan pasar. Semoga langkah-langkah yang diambil dapat meringankan beban para pekerja dan memulihkan industri tekstil Indonesia.